Senin, 31 Desember 2012

Dimana posisi keilmuan kita ?


Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(QS 17;36)

Dalam dunia pendidikan kita kenal yang namanya kurikulum, yang tujuan mencapainya disebut tujuan kurikuler, sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu yang mempunyai rumus rumus tentunya satu pelajaran, atau jenjang pengajaran dalam satu disiplin ilmu selalu paralel atau berkaitan satu dengan lainnya, sampai dengan tahap yang paling tinggi.

Saya umpamakan sebuah buku pelajaran matematika pada halaman 5 angka 10 disimbolkan dengan huruf X, namun pada saat halaman itu dipelajari karena satu hal kita tidak mengikutinya, lalu pada halaman berikutnya tahu-tahu ada pertanyaan 5 di kali X = berapa.?

Catatan di atas hanyalah sebuah contoh kecil, namun seberapa pun sulitnya sebuah rumus tetap selalu ada rujukannya, ada referensinya, ada buku sebagi panduan untuk melihat kembali kepada wacana yang lalu, semua dalam koridor yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan apalagi yang bersifat ilmu pasti seperti matematika.

Tak terkecuali ilmu agama. (Maaf saya bukan termasuk orang yang membedakan ilmu umum dan agama ini hanya sebuah contoh), kita kenal yang namanya syareat, ma’rifat dan hakikat, tidak jelas mana yang lebih dahulu di pelajari, beberapa kali tarbiyah yang saya ikuti lebih mengedepankan memulainya dengan Ma’rifatullah karena sebuah ungkapan “Awwalu ma yuallamu Ala kulli mukhallafin Ma’rifatullah (yang pertama kali dipelajari oleh setiap Mukhallaf adalah mengenal Allah) berbeda dengan majelis taklim yang biasanya pesertanya para ibu, dalam majlisnya yang pertama di pelajar adalah ibadah Syareat, dan yang jelas selain kedua cara tadi belum ada yang memulainya dengan apa yang kita kenal dengan hakikat.

Namun logikanya sebagaimana jenjang sebuah keilmuan tentunya orang yang telah sampai kepada tahap ilmu hakikat, tentunya telah matang ilmu Syareat dan Ma’rifatnya, yakni bisa membuat sebuah penjelasan yang sinkron dan simetris bila ada seorang teman atau lawan bicaranya yang baru dalam tahap Syareat, yakni semua argumentasi penafsirannya harus mempunyai pijakan yang jelas, referensi yang jelas,pondasi yang kokoh sebagai sebuah disiplin ilmu, tidak melenceng dari jalur yang semestinya, tidak menabrak rambu-rambu yang katanya menjadi acuannya.

Dalam hubungannya dengan ayat di atas, janganlah kita melakukan atau berbicara sesuatu bila belum jelas dan valid apa yang akan kita sampaikan, dalam sebuah transfer ilmu bukan hanya pengetahuan yang diperlukan tapi juga pemahaman, agar apa yang kita sampaikan mempunyai power, mempunyai nilai karena rasa kepercayaan diri kita yang tinggi lantaran kita telah memahaminya sampai pada hal yang terkecil, jangan hanya bermodal kita pernah mendengar atau melihat, lalu merasa yakin bahwa itu benar , padahal belum teruji dengan dalil dalil yang Qat’e akan kebenarannya, karena semua apa yang kita lakukan baik dalam bentuk kata maupun perbuatan semua akan ada perhitungannya kelak di hadapan Allah.

Wallahu a’lam bissawab.



Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas

0 komentar:

Posting Komentar

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t

Tinggalkan kesan anda di sini