Rabu, 17 November 2010

Kapal kayu desaku

Pada tahun 80an perahu layar seperti gambar di atas merupakan teman setia hampir seluruh warga pulau giligenting dalam mencari nafkah, meski ada juga diantara warga yg mengantungkan hidupnya dengan bertani, atau membuat gula aren (sejenis gula merah yang dibuat dari olahan Nira pohon tahal/siwalan), namun mayoritas pada saat itu adalah "berlayar, itulah istilah kami yg keluarganya berlayar.
Adapun jalur pelayaran mereka adalah pulau jawa, sumatera dan kalimantan, sedangkan muatan perahu sebagai peneyedia jasa angkutan tentulah beragam, dari hewan ternak, sembako s/d bahan bangunan , namun yang terbanyak adalah mengangkut kayu, baik jadi maupun olahan dari sumatera dan kalimantan ke pulau jawa, adapun pemakai jasa juga banyak  warga giligenting yg merantau ke pulau jawa.
Seiring berjalannya waktu, kejayaan perahu layar dan mesin pulau giligenting semakin redup, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang mulai mengawasi secara ketat penebangan hutan baik yang dilakukan oleh penduduk maupun pemilik HPH (hak pengelolaan hutan) akibat kritikan dari luar negeri yang melihat (melalui satelit) berkurangnya lahan hijau termasuk hutan yang menjadi jantung bumi, juga termasuk kebijakan pemerintah yang sangat memukul para pemilik kapal kayu ialah "batas minimal kapal yang akan mengangkut kayu adalah di atas 500 meter kubik, selain juga banyaknya ditemui 'SAKO (suarat angkutan kayu olahan) yang tidak sesuai dengan jumlah yg sebenarnya, hal ini terjadi karena kongkalikong juragan kapal dengan aparat yang berwenang.
maka sejak saat itulah kapal layar yang mengangkut kayu kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum yang dikenal dlm istilah kami "TIM yang sebenarnya adalah tim khusus yg dibentuk pmerintah untuk mengawasi peredaran kayu ilegal, bahkan beredar kabar "bahwa kapal yg membangkan akan ditenggelamkan dengan ditembak lambungnya (kapal).
Waktupun berlalu dan kondusi semakin tidak kondusif, maka mulailah para ABK (anak buah kapal) melirik mata pencaharian yang lain, yg lebih kecil resikonya, (karena resiko berlayar cukup besar) "membuka toko kelontong mengikuti warga giligenting yang lain yg lebih dahulu mencari nafkah di darat.
Dan pada perjalannya kini kapal atau perahu besar kampungku mulai dapat dihitung dgn jari, itupun sebagiannya teronggok rusak yg hanya bisa dijual sebagai kayu bakar, padahal sewaktu aku kecil dulu, pada saat musim barat pesisir pantai penuh dengan kapal kapal tersebut yg pulang ke kampung baik karena menghindari angin barat maupun rindu keluarga, sekaligus memperbaiki kapal atau perahu yang rusak.
Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas

0 komentar:

Posting Komentar

:a   :b   :c   :d   :e   :f   :g   :h   :i   :j   :k   :l   :m   :n   :o   :p   :q   :r   :s   :t

Tinggalkan kesan anda di sini