Dan janganlah kamu mengikuti apa
yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran,
penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(QS 17;36)
Dalam dunia pendidikan kita kenal
yang namanya kurikulum, yang tujuan mencapainya disebut tujuan kurikuler,
sebagaimana layaknya sebuah disiplin ilmu yang mempunyai rumus rumus tentunya
satu pelajaran, atau jenjang pengajaran dalam satu disiplin ilmu selalu paralel
atau berkaitan satu dengan lainnya, sampai dengan tahap yang paling tinggi.
Saya umpamakan sebuah buku
pelajaran matematika pada halaman 5 angka 10 disimbolkan dengan huruf X, namun
pada saat halaman itu dipelajari karena satu hal kita tidak mengikutinya, lalu
pada halaman berikutnya tahu-tahu ada pertanyaan 5 di kali X = berapa.?
Catatan di atas hanyalah sebuah
contoh kecil, namun seberapa pun sulitnya sebuah rumus tetap selalu ada rujukannya,
ada referensinya, ada buku sebagi panduan untuk melihat kembali kepada wacana
yang lalu, semua dalam koridor yang jelas dan dapat dipertanggung jawabkan
apalagi yang bersifat ilmu pasti seperti matematika.
Tak terkecuali ilmu agama. (Maaf saya
bukan termasuk orang yang membedakan ilmu umum dan agama ini hanya sebuah
contoh), kita kenal yang namanya syareat, ma’rifat dan hakikat, tidak jelas
mana yang lebih dahulu di pelajari, beberapa kali tarbiyah yang saya ikuti
lebih mengedepankan memulainya dengan Ma’rifatullah karena sebuah ungkapan “Awwalu
ma yuallamu Ala kulli mukhallafin Ma’rifatullah (yang pertama kali dipelajari
oleh setiap Mukhallaf adalah mengenal Allah) berbeda dengan majelis taklim yang
biasanya pesertanya para ibu, dalam majlisnya yang pertama di pelajar adalah
ibadah Syareat, dan yang jelas selain kedua cara tadi belum ada yang memulainya
dengan apa yang kita kenal dengan hakikat.
Namun logikanya sebagaimana
jenjang sebuah keilmuan tentunya orang yang telah sampai kepada tahap ilmu hakikat,
tentunya telah matang ilmu Syareat dan Ma’rifatnya, yakni bisa membuat sebuah
penjelasan yang sinkron dan simetris bila ada seorang teman atau lawan bicaranya
yang baru dalam tahap Syareat, yakni semua argumentasi penafsirannya harus mempunyai
pijakan yang jelas, referensi yang jelas,pondasi yang kokoh sebagai sebuah disiplin ilmu, tidak
melenceng dari jalur yang semestinya, tidak menabrak rambu-rambu yang katanya
menjadi acuannya.
Dalam hubungannya dengan ayat di
atas, janganlah kita melakukan atau berbicara sesuatu bila belum jelas dan
valid apa yang akan kita sampaikan, dalam sebuah transfer ilmu bukan hanya
pengetahuan yang diperlukan tapi juga pemahaman, agar apa yang kita sampaikan
mempunyai power, mempunyai nilai karena rasa kepercayaan diri kita yang tinggi
lantaran kita telah memahaminya sampai pada hal yang terkecil, jangan hanya
bermodal kita pernah mendengar atau melihat, lalu merasa yakin bahwa itu benar
, padahal belum teruji dengan dalil dalil yang Qat’e akan kebenarannya, karena
semua apa yang kita lakukan baik dalam bentuk kata maupun perbuatan semua akan
ada perhitungannya kelak di hadapan Allah.
Wallahu a’lam bissawab.