Beberapa pekan ini , ada sebuah wacana yang kemudian berkembang menjadi sebuah program kerja bagi Ikrisma, yakni pemugaran Masjid.
Ada pro dan kontra dalam perencanaan tersebut, dengan alasan masing-masing tentunya, namun cukup logis dan dapat dimaklumi, yang pro mengatakan, meskipun kondisi bangunan masjid masih layak, tapi kapan lagi akan ada aghniya yang bersedia memugar Masjid, boleh jadi bila Masjid telah dipugar akan timbul kecintaan masyarakat ke Masjid, yang pada gilirannya menjadi motivasi untuk shalat berjamaah. adapun yang kontra mengatakan , sebaiknya yang didahulukan adalah lembaga pendidikan sebagai sarana pengkaderan ummat, yang nantinya kader-kader tersebutlah yang akan memakmurkan Masjid, baik dari segi fisik bangunan maupun syiarnya, ditambah lagi dengan ketidak adaan lembaga pendidikan yang layak dan prospektif di desa Bringsang .
Berbeda dengan ambulan, kedudukan Ikrisma dalam program ini hanyalah sebagai fasilitator, bukan pelaksana, Ikrsima hanya memfasilitasi dalam program tersebut antara para donatur yang tergerak hatinya untuk membantu pemugaran tersebut dengan aghniya yang menjadi sponsor, yang tekadnya sepertinya sudah bulat untuk menginfakkan hartanya, shadaqah jariyahnya dalam bentuk pemugaran masjid.
Adapun kapasitas Ikrsima dalam program tersebut hanya tiga .
Pertama ; menentukan model atau arsitektur bangunan Masjid dengan cara memilih dari gambar yang sudah disediakan.
Kedua : menjembatani dengan para aghniya yang di Jakarta yang mungkin ingin turut serta dalam pemugaran tersebut.
Ke tiga : membentuk kepengurusan takmir masjid.
Berbeda dengan membangun sarana ibadah (masjid), membangun sebuah lembaga pendidikan tidak berhenti sebatas finishnya mata rantai pembangunan fisik dari pembebasan tanah sampai penyerahan kunci. Membangun lembaga pendidikan harus di persiapkan beberapa hal diantaranya, pengadaan fasilitas kegiatan belajar mengajar, sumber daya manusia sebagai tenaga pengajarnya, anggaran pendapatan yang pasti untuk mengcover insentif tenaga guru dan biaya perawatan gedung, kepastian jumlah murid termasuk juga pengakuan dari pemerintah, baik terakreditasi, diakui disamakan dll.
Adapun bila yang kita programkan adalah lembaga pendidikan non formal seperti tempat pengajian, akan lebih riskan lagi mengingat lembaga non formal tersebut ada beberapa di Bringsang, lalu mana yang akan menjadi prioritas , jelas ini akan menimbulkan kecemburuan secara sosial dari pemilik lembaga tersebut.
Sedangkan sarana ibadah , yang kita tahu tentunya tidak terlalu menguras energi dalam pengelolaannya, bahkan boleh jadi dengan ikut andilnya Ikrisma dalam pembiayaan operasionalnya, bisa melakukan intervensi dalam pengelolaannya, paling tidak menjadikan masjid sebagai bagian dari lembaga pembinaan ummat.
Apa yang saya sampaikan hanyalah opini atau pendapat saya pribadi bukan sebagai person dari Ikrisma.
Silahkan baca artikel lainnya yang terkait dengan pos di atas
0 komentar:
Posting Komentar
Tinggalkan kesan anda di sini