Ketua dan Sekretaris

Sebuah organisasi tidak akan maju tanpa adanya kerja sama dan tanggung jawab, tokoh sentral dan desain tak ada artinya tanpa dukungan semua person

Rapat Ikrisma dengan Masyarakat

Ikrisma selalu terdepan dalam menangani masalah masyarakat yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah lokal

Divisi Sosial

Armada Ambulan yang dikelola oleh divisi Sosial telah banyak membantu meringankan beban Masyarakat saat tertimpa musibah

Santai usai Taklim

Menyempatkan waktu disela sela kesibukan untuk Taklim, bahkan tetap memberi ruang untuk santai sambil membicarakan Ikrisma ke depannya.

Suasana Pantai Desa Bringsang

Tepi pantai yang anggun di pesisir desa Bringsang membuat aku rindu kampung halaman

Sabtu, 27 November 2010

Langkanya habitat Satwa

Saat admin masih kecil sampai dengan tahun 90 an , baik ketika masih tinggal di kampung maupun sudah merantau ke Jakarta yang susah di hilangkan dalam hal hobby ialah mancing dan berburu burung, Cuma untuk memancing dapat dilakukan di jakarta itu mungkin sebabnya menemui titik bosan, adapun berburu baik dengan senapan maupun dengan katapel sampai saat ini sulit di hilangkan.


Tapi sejak tahun 90an ke atas berburu menjadi tidak menyenangkan lagi saat mudik, penyebabnya bukan karena di larang atau bosan tapi karena nyaris punahnya habitat satwa yang dulu banyak di kampung halaman tercinta, mana itu burung-burung yang dulu banyak beterbangan di sekitar rumah, kutilang, jalak suren, jalak kebo, tekukur, parkit bunga, kepodang, jalak bali dan lain-lain, saat pagi menjelang matahari terbit (saat mudik) sulit untuk mendengar kicauan kutilang, saat matahari mulai Dhuha tak terdengar suara jalak bali, jalak suren, jalak kebo , saat siang tak terdengar suara burung puter, komantera dan perkutut, juga saat sore tak lagi terdengar suara burung kepodang, sepi, mana suasana pedesaan yang dulu saat kecil amat terasa, kini berganti deru motor dan mobil.

Nyaris punahnya satwa liar, baik burung maupun biawak bahkan komodo tak lepas dari pemburu liar yang rakus, mereka berburu bukan sekedar hobby tapi menjadikannya sbagai mata pencaharian, tanpoa memikirkan dampak ke depannya, karena satwa liar boleh jadi akan menjadi chiri khas bahkan khusus suatu wilayah.

Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi, andai saja ada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemda setidak-tidaknya kepala desa , karena sepengetahuan admin perburuan liar yang tanpa kendali bukan dilakukan oleh penduduk asli Giligenting melainkan pemburu dari luar pulau yang dengan seenaknya mengangkut satwa liar dari pulau Gili dengan jumlah ratusan ekor setiap kali angkut (hal ini sering dijumpai oleh kawan kawan saat mereka di kampung), dan lebih parahnya lagi tak sepersenpun pendapatan yang di peroleh desa dari kegiatan liar tersebut.

Untuk selanjutnya, mewakili para perantau baik yang ada di jakarta maupun jawa tengah dan di tempat yang lain kami berharap agar ke depannya nanti hal ini tak perlu terjadi, harus ada kebijakan tegas berupa "PERDES (peraturan desa) untuk pemburu liar apalagi yang sengaja datang ke pulau gili untuk keperluan tersebut, agar suasana desa yang kini tak asri lagi kembali seperti dulu, toh masih ada kesempatan .

Jumat, 26 November 2010

Budi daya Melon

Pada awal tahun 2007 ada kabar baik untuk para petani kampungku (madura giligenting) “budi daya melon ! itulah kabar baik tersebut, tumbuhan holti kultura ini tidak memilih lahan , baik di sawah , ladang bahkan lahan yang marginal pun bisa tumbuh.


ditinjau dari segi keuntungan, membudidayakan tanaman Melon cukup menjanjikan. keuntungannya lebih besar dibanding ketika bertani komoditas tanaman pangan yang lain. Tapi risiko kegagalannya pun juga senantiasa membayang-bayangi. Karena itu, bertani melon mutlak memerlukan penguasaan teknologi budi daya hortikultura secara matang, intensif, dan cermat.

Tanaman melon termasuk tanaman yang harus selalu mendapatkan pasukan air yang cukup, bahkan semakin besar buahnya semakin banyak debit air yang dibutuhkan, itulah yang pernah dikeluhkan oleh salah seorang petani kampungku, padahal air adalah sesuatu yang sulit terutama pada musim kemarau, apalagi ke adaan pulau madura yang sangat kecil dan dikelilingi lautan maka pada saat musim kemarau selain air menjadi sulit karena sumur kering , yang ada airnya pun menjadi asin, itulah salah satu kendala yang di hadapi para petani melon di desaku,. Adapun yang jauh dari pesisir untuk sementara bisa bernafas lega dengan di bangunnya semacam bendungan air atau waduk.

Petani melon yang merupakan hasil binaan dari dinas pertanian kabupaten Sumenep tidak merasa kawatir dalam hal pemasarannya , karena betapapun banyaknya hasil panen akan di serap oleh pasar Anom Sumenep, dengan pembeli yang datang langsung membeli pada saat panen.

Kini para petani berharap, agar ke depannya nanti budi daya Melon tidak seperti budi daya hasil pertanian yang lain seperti rumput laut, yang hanya manis pada awal musim saja dan ke sananya pemerintah meninggalkan begitu saja para petani rumput laut yang sudah kadung, banyak menaruh harapan pada sektor tersebut.

Nah !..bagi para pemudanya, baik yang tinggal menetap atau merasa jenuh dan tidak cocok di perantauan , ternyata kampung kita masih memberikan alternatif harapan di samping harapan-harapan yang lain, yang menjadi kekayaan alam desa yang belum di gali .

Rabu, 17 November 2010

peluang usaha di giligenting 1

Banyaknya urbanisasi yang dilakukan warga giligenting ke Jakarta boleh jadi penyebab utamanya adalah susahnya mencari mata pencaharian di kampung halaman, apalagi melihat suksesnya para perantau ketika mereka pulang ke kampung halaman.


Kegigihan selain adanya modal serta skil (kemampuan) dalam sebuah usaha menjadi mutlak adanya, karena persaingan dalam usaha kini semakin ketat, baik saingan sesama warga giligenting sendiri yang mencari dan mendapatkan lokasi yang berdekatan dengan tempat usaha kita maupun dengan menjamurnya mini Market.

Lalu bagaimana dengan mata pencaharian yang ada di kampung halaman ?

Tidak benar bila ada yang mengatakan “tidak akan hidup bila hanya hidup di kampung, pendapat ini tidak bisa disalahkan namun juga tidak bisa dibenarkan, karena banyak juga warga yang tetap bertahan hidup di kampung baik bekerja sebagai petani, tukang, beternak,pedagang, guru maupun nelayan bahkan ada perantau lain yang mencari nafkah di kampung kita .

Bila kita cermati secara arif, mayoritas warga ingin mendapatkan uang secara instan dari hasil usahanya saat itu juga, ini yang menjadikan mereka mencari pekerjaan yang bersifat mudah dan langsung merasakan hasilnya, hal inilah yang membuat warga enggan beternak dan bercocok tanam, selain sulitnya air karena daerah Madura jarang turun hujan kalau bukan musim barat, padahal lahan yang tersedia untuk pertanian untuk bercocok tanam sangat luas bukan hanya itu beberapa pesisir pantai juga bisa dibuat semacam empang untuk industri pembuatan garam, atau pengembangbiakan ikan bandeng, hal ini terbukti ketika dinas pertanian membagikan bibit pohon mangga secara gratis hanya sedikit warga yang mau menanam selebihnya hanya digeletakkan begitu saja, bahkan ada yang menjadi makanan kambing atau sapi.

Sebenarnya banyak yang bisa dilakukan oleh warga yang memilih menetap di kampung halaman bila didukung oleh infra struktur yang memadai seperti penerangan yang hidup 24 jam , adanya waduk yang bisa mengairi ladang pada saat musim kemarau, tersedianya lobang penjualan dari hasil pertanian dan peternakan dengan adanya koperasi, karena yang kita ketahui selama ini yang menjadi kendala penjualan di samping masalah transportasi juga para tengkulak yang menekan harga sedemikian murah seperti yang terjadi pada petani rumput laut.

Mungkin untuk saat ini yang tidak begitu menemui kendala dalam pemasaran adalah para nelayan, yang kalau kita dengar ternyata sebagian mereka bukan penduduk asli Giligenting , melainkan perantau yang menikahi gadis pulau Giligenting. Adapun petani melon walaupun sudah mempunyai calon pembeli yang siap menampung berapapun banyaknya, juga menghadapi sulitnya air terutama pada musim kemarau, karena semakin besar melon maka semakin banyak debit air yg dibutuhkan.

Kini para penduduk yang menetap mengharap adanya kebijakan dari kepala daerah yang berpihak pada mereka dengan membentuk adanya koperasi yang mewadahi seluruh peternak, petani dan nelayan dengan cara menyediakan bibit dan mencari pembeli serta adanya pinjaman modal.

Telatnya surat ambulan

Sudah 4 bulan Ambulan yang dibeli dari uang donatur warga giligenting masih nongkrong bahkan berpindah-pindah garasi, hal ini terjadi akibat lamban dan terlalu berbelitnya pengurusan akte yayasan Ikrisma yang berimbas pada molornya pembuatan surat-surat kendaraan yang sedianya memakai nama yayasan.

sebenarnya beberapa orang pengurus Ikrisma, sudah bekerja keras baik menekan pihak jasa pembuat akte maupun pihak suzuki untuk segera penyelesaikan pembuatan STNK, namun mereka juga tidak bisa berbuat banyak karena persyaratan pembuatannya tidak sama dengan pembuatan atas nama Pribadi.

Terungkap juga keinginan untuk sementara ambulan memakai nama pribadi yg disepakati oleh anggota dan masyarakat dengan asumsi tahun berikutnya akan dibalik nama, namun mengingat biaya balik nama juga tidak murah juga bila di atasnamakan pribadi rentan terhadap fitnah, maka terpaksa pihak Ikrisma menunggu sampai proses pembuatan akte mendapatkan berkas berkas yang menjadi syarat pembuatan STNK.

Adapun ambulan (mobil jenazah) kini sudah mulai dimodifikasi covernya sebagaimana layaknya mobil jenazah, yaitu dgn memberika semacam Scotlet yg diseting sedemikian rupa dgn komputer sebagai ciri khas dari Ikrisma.

Sedangkan modifikasi bagian dalam insya Allah akan segera dilaksanakan karena panitia telah mengukur panjang dan lebar baik keranda maupun peti, hal ini juga terpaksa melalui interfensi dari ketua Ikrisma karena melihat terkatung-katungnya masalah modifikasi bagian dalam, yg sedianya akan dilakukan sambil berjalan, demi melihat dana yang mencukupi maka modifikasi bagian dalam bisa dilakukan secepatnya, termasuk garasi yang sudah del dengan tukang dan tersedianya ( sudah dibelinya) bahan materialnya.

mengenai louncing mobil jenazah, secepatnya akan dilaksanakan setelah selesainya STNK dan pembuatan garasi serta modif bagian dalam yang tentunya mengundang semua donatur untuk menyaksikan wujud donasi yang mereka kumpulkan.

Kapal kayu desaku

Pada tahun 80an perahu layar seperti gambar di atas merupakan teman setia hampir seluruh warga pulau giligenting dalam mencari nafkah, meski ada juga diantara warga yg mengantungkan hidupnya dengan bertani, atau membuat gula aren (sejenis gula merah yang dibuat dari olahan Nira pohon tahal/siwalan), namun mayoritas pada saat itu adalah "berlayar, itulah istilah kami yg keluarganya berlayar.
Adapun jalur pelayaran mereka adalah pulau jawa, sumatera dan kalimantan, sedangkan muatan perahu sebagai peneyedia jasa angkutan tentulah beragam, dari hewan ternak, sembako s/d bahan bangunan , namun yang terbanyak adalah mengangkut kayu, baik jadi maupun olahan dari sumatera dan kalimantan ke pulau jawa, adapun pemakai jasa juga banyak  warga giligenting yg merantau ke pulau jawa.
Seiring berjalannya waktu, kejayaan perahu layar dan mesin pulau giligenting semakin redup, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah yang mulai mengawasi secara ketat penebangan hutan baik yang dilakukan oleh penduduk maupun pemilik HPH (hak pengelolaan hutan) akibat kritikan dari luar negeri yang melihat (melalui satelit) berkurangnya lahan hijau termasuk hutan yang menjadi jantung bumi, juga termasuk kebijakan pemerintah yang sangat memukul para pemilik kapal kayu ialah "batas minimal kapal yang akan mengangkut kayu adalah di atas 500 meter kubik, selain juga banyaknya ditemui 'SAKO (suarat angkutan kayu olahan) yang tidak sesuai dengan jumlah yg sebenarnya, hal ini terjadi karena kongkalikong juragan kapal dengan aparat yang berwenang.
maka sejak saat itulah kapal layar yang mengangkut kayu kucing-kucingan dengan aparat penegak hukum yang dikenal dlm istilah kami "TIM yang sebenarnya adalah tim khusus yg dibentuk pmerintah untuk mengawasi peredaran kayu ilegal, bahkan beredar kabar "bahwa kapal yg membangkan akan ditenggelamkan dengan ditembak lambungnya (kapal).
Waktupun berlalu dan kondusi semakin tidak kondusif, maka mulailah para ABK (anak buah kapal) melirik mata pencaharian yang lain, yg lebih kecil resikonya, (karena resiko berlayar cukup besar) "membuka toko kelontong mengikuti warga giligenting yang lain yg lebih dahulu mencari nafkah di darat.
Dan pada perjalannya kini kapal atau perahu besar kampungku mulai dapat dihitung dgn jari, itupun sebagiannya teronggok rusak yg hanya bisa dijual sebagai kayu bakar, padahal sewaktu aku kecil dulu, pada saat musim barat pesisir pantai penuh dengan kapal kapal tersebut yg pulang ke kampung baik karena menghindari angin barat maupun rindu keluarga, sekaligus memperbaiki kapal atau perahu yang rusak.

Abrasi pesisir pulau Giligenting

Berjalan berkeliling saat pulang kampung sangat menyenangkan, namun ada yang membuat hati sedih sebagai putra asli Giligenting saat melihat pesisir pantai,.. "Abrasi atau pengikisan air laut,. yang terjadi dari waktu ke waktu semakin mengkwatirkan, hampir sekeliling pulau garis pantai menjadi maju atau memakan pinggir pulau, tak heran anggaran belanja desa untuk penahan ombak slalu tercantum hampir setiap tahun, ini berarti kerusakan semakin bertambah dari waktu ke waktu , padahal anggaran untuk hal tersebut tidak kecil, dan kalau dianggarkan untuk hal yang lain, akan sangat menguntungkan bagi perkembangan desa.
kalau kita tarik mundur beberapa belas tahun, atau puluhan tahun ke belakang maka kita akan dapati tepi atau pesisir pantai yang jauh dari jalanan, di pinggir pantai sebelum jalan raya masih dapat tumbuh pohon-pohon kelapa, pohon perdu dan pohon belimbing lanang, namun yg terjadi sekarang bibir pantai jauh masuk ke pulau bahkan menyita posisi jalan raya.
Abrasi yang terjadi menurut pendapat saya, adalah banyaknya mengambilan pasir yang tanpa kendali dan kurang begitu memikirkan efek buruknya, selain itu juga ditambah dengan penggalian batuan laut, yang kita kenal sebagai batu Ampar atau gelar oleh penduduk kampung sebagai pondasi rumah, padahal fungsi dari batu tersebut selain menjadi tempat berkembang biaknya Rajungan, shengki' juga sebagai peredam ombak` adapun pemecah ombak yang dibangun oleh orang-orang tua kita dahulu kurang berfungsi dgn baik karena bentuknya yang 'Keni atau lurus , padahal yang efektif memecah dan mredam ombak agar tidak besar sampai ke pantai adalah bila di buat dengan bentuk "L.
Sebenarnya Abrasi yang terjadi pada pulau kita tercinta itu dapat dihentikan dengan cara adanya kebijakan tertulis dari penguasa daerah, semacam perda (peratuiran daerah) minimal tingkat desa juga disertai kesadaran yang tinggi dari warga akan tidak merusak lingkungan terutamanya pesisir pantai.
pesan dari Ikrisma : untuk seluruh warga Giligenting, kami berharap agar kita semua dalam melakukan hal apapun dalam hal ini yg berkaitan dengan lingkungan untuk memikirkan dampaknya dikemudian hari, kasihan anak-anak dan cucu kita , boleh jadi karena kelalaian kita dalam mengelola lingkungan pulau Giligenting hanya tinggal sebuah nama, karena tenggelam seperti 'NOKO.